MULTIDIMENSI MANUSIA
OLEH:
DUDIYONO NIM.
391.9.1.12
MAKALAH
Diajukan kepada Program Pascasarjana
Universitas Sains Al Qur’an
Jawa Tengah di Wonosobo Program Studi
Magister Pendidikan Islam
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Akhir
Semester
pada Mata Kuliah Pengembangan Pedidikan
Akhlaq
Dosen Pengampu Prof. Dr. H.M. Amin
Syukur, MA.
UNIVERSITAS SAINS AL QUR’AN
JAWA TENGAH DI WONOSOBO
TAHUN 2013
A. Pendahuluan
Manusia telah diciptakan
oleh Allah Swt dengan derajat yang tinggi dan penuh dengan kemuliaan. Manusia
mempunyai kemuliaan yang lebih tinggi dari makhluk apapun di jagad raya ini.
Manusia lebih mulia dari malaikat karena pada hakikatnya Malaikat terdiam
menunggu intruksi dari Allah Swt atas tugas apa yang akan diberikan kepada
mereka, akan tetapi manusia diberi kehendak oleh Allah Swt untuk berbuat
sesuatu. Termasuk kehendak yang telah
diberikan Allah kepada manusia berupa amanah agar manusia menjadi khalifah di
bumi, sehingga manusia memiliki kewajiban untuk mengelola alam namun tidak
terlepas dari aturan-aturan yang telah ditetapkan-Nya. (Amin Syukur, 2004: 166).
Kemuliaan manusia
tentu juga lebih tinggi dibandingkan dengan syetan. Syetan tidak dapat berada
pada jalan kebenaran, akan tetapi manusia dapat berbuat benar meskipun manusia
juga tidak jarang melakukan kesalahan. Demikian halnya ketika manusia di
bandingkan dengan hewan, tentu manusia akan lebih tinggi derajat dan kemuliaannya
daripada hewan, karena secerdas apapun makhluk yang namanya hewan tentu hewan
tersebut tidak akan memiliki akal sebagaimana manusia yang telah dianugrahi
Allah Swt berupa akal sehingga mampu berpikir untuk memperoleh kebahagiaannya. (Abdul
Choliq, 2012: 2-3) Itulah manusia yang telah dijadikan sebagai makhluk
multidimensi, tidak hanya terdiri dari akal tetapi banyak dimensi-dimensi lain
yang ada dalam diri manusia.
Manusia juga akan
Nampak kemuliaannya jika dibandingkan dengan bumi, gunung ataupun lautan.
Karena manusia memiliki nyawa sementara bumi, gunung dan lautan adalah makhluk
Allah yang tak bernyawa. Manusia juga telah diciptakan Allah disempurnakan
dengan adanya ruh dan jasad yang ada pada manusia. hal inilah yang telah
menjadikan manusia sebagai makhluk yang multidimensia, sebagaimana difirmankan
Allah Swt dalam QS. At Tin/95: 4 berikut:
Artinya: “Sesungguhnya telah Kami ciptakan
manusia dalam bentuk yang multidimensi”
(Q.S.At-Tin:4).
Meskipun manusia
telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk mengetahui
dirinya. Tapi kita hanya mampu mengetahui beberapa segi tertentu dari diri
kita. Sehingga tulisan ini hadir untuk mengamalkan salah satu hadist Rosululloh
Saw “Barang siapa yang mengetahui dimensi dirinya, maka dia akan mengetahui
dimensi Tuhannya”. Sebab menurut Imam Ghazali hadist ini adalah keharusan bagi
siapapun yang ingin untuk mengetahui tentang dimensi ketuhanan. (Al Ghazali,
1997: 5) Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang bagaimana
multidimensionalitas manusia.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah tersebut di atas maka masalah yang diajukan oleh penulis
dalam makalah ini adalah
1.
Bagaimana Manusia dalam
Perspektif Islam?
2.
Mengapa manusia disebut
sebagai makhluk yang multidimensionalitas?
C. Tujuan
Pembahasan Masalah
Penulisan makalah ini
bertujuan untuk :
1.
Memperoleh pemahaman tentang manusia dalam perspektif Islam
2.
Mengetahui multidimensionalitas manusia
D. Pembahasan
Masalah
1.
Manusia dalam Perspektif Islam
Eksistensi manusia
lahir ke muka bumi bukanlah atas kehendaknya sendiri, ataupun hasil dari
evolusi alamiah, akan tetapi merupakan kehendak dari dzat yang Maha Absolut
Allah Swt. Dengan demikian maka manusia
dalam perjalananan hidupnya tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan
yang telah digariskan oleh Allah Swt, karena manusia sendiri berada pada posisi
yang lemah sehingga tidak dapat menolak apa yang sudah menjadi kehendak-Nya. (Abdul
Majid dan Dian Andayani, 2011: 65).
Secara terminologis
dalam al Qur’an manusia dapat disebut juga sebagai al-basyar, al-insan
dan al-nas. Al-basyar seringkali disebut dalam Al Qur’an, al-basyar
dapat berarti bahwa manusia sebagai makhluk biologis, sebagaimana digambarkan
dalam firman Allah Swt berikut:
Artinya: Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa
mungkin Aku mempunyai anak, padahal Aku belum pernah disentuh oleh seorang
laki-lakipun." Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril):
"Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. apabila Allah
berkehendak menetapkan sesuatu, Maka Allah Hanya cukup Berkata kepadanya:
"Jadilah", lalu jadilah Dia. (QS. Ali Imran: 47).
Menurut Ali Syari’ati dalam Amin
Syukur (2010: 7) bahwa al-basyar merupakan manusia yang essensi
kemanusiannya tidak Nampak dan aktivitasnya serupa dengan binatang.
Berbeda halnnya
dengan al-insan, ia dihubungkan dengan kekhalifahan dan pemikul amanah,
predisposisi negative pada diri manusia dan dihubungkan dengan proses
penciptaan manusia. Al-insan juga memiliki keistimewaan berupa berilmu
pengetahuan, memiliki daya nalar sehingga manusia disebut juga sebagai ulum
albab, sebagaimana firman Allah Swt berikut:
Artinya: Apakah kamu tidak
memperhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, Maka
diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi Kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air
itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu kamu
melihatnya kekuning-kuningan, Kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi
orang-orang yang mempunyai akal. (QS. al Zumar: 21).
Manusia juga diistilahkan dengan al-nas yang merupakan konsep
bahwasanya manusia adalah sebagai makhluk social. Hal ini menunjukkan bahwa
manusia telah lahir dan tumbuh dengan memiliki berbagai keistimewaan dan
keunikan yang berbeda yang dimiliki oleh
masing-masing kelompoknya. (Tim Penyusun, 2011: 93-94) Dengan demikian makna
“manusia” dapat diasimpulkan bahwa manusia merupakan makhluk biologis,
psikologiss dan sosial, yang ketiganya itu harus dikembangkan dan diperhatikan
antara hak dan kewajibannya secara seimbanng dan tentunya senantiasa berada
pada hokum-hukum yang telah ditentukan. (Amin Syukur, 2010: 9).
Proses penciptaan manusia sebagaimana diinformasikan dalam (QS. al
Shaffat: 11) adalah berasal dari tanah liat (thin), bias juga berasal
dari tanah (turab) berdasarkan (QS. Ali Imran:59). Disamping itu Allah telah
menjelaskan tentang proses kejadian manusia sebagaimana digambarkan dalam (QS.
al Mu’minun: 12-14) berikut:
Artinya: 12. Dan
Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah. 13. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam
tempat yang kokoh (rahim). 14. Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal
darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal
daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus
dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka
Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.
Tentang asal-usul manusia, menurut Islam manusia sekarang ini adalah
keturunan dari Adam, tentu berbeda dengan pendapat Darwin dengan teori
evolusinya yang hanya menampakkan dari sisi jasmaniah saja. Manusia diciptakan dalam
bentuk yang sempurna baik secara fisik maupun psikis, meskipun bisa saja pada
suatu saat manusia akan berbalik arah menjadi bentuk yang paling hina ketika
manusia tidak mampu lagi untuk mempertahankan
dan menjaga kesempurnaannya itu. (Amin Syukur, 2012: 151)
Bahkan ketika tidak dapat menjaga kesempurnaannya manusia akan lebih hina
dan bagaikan binatang karena tidak dapat menjaga keimananan, beramal shalih dan
berserah diri kepada Allah Swt (QS. Ali Imran: 110), sehingga memperoleh
derajat kemuliaan haqiqi berupa ketaqwaan kepada-Nya (QS. al Hujurat: 13).
2. Multidimensionalitas Manusia
Manusia adalah makhluk dwi dimensi, dikatakan demikian karena manusia
tecipta dari tanah dan ruh ilahi. Manusia dapat diibaratkan dengan air, dimana
air itu terdiri dari kadar-kadar tertentu dari hydrogen dan oksigen. (Quraish
Shihab, 2008: 149).
Syaibani dalam Tafsir (2008: 29) manusia terdiri dari tiga unsur yaitu
jasmani, akal dan ruhani. Berbeda halnya dengan pendapat Zayadi (2004: 24), ia
berpendapat bahwa dimensi manusia itu terbagi menjadi tiga bagian yaitu;
dimensi fisik ( jasmani/jasad), dimensi psikhis (ruhani) dan dimensi psikofisik
yang lazim disebut dengan nafs.
Mungkin dengan bahasa
yang lebih sederhana, bahwa dimensi adalah kumpulan parameter dan tata nilai
yang membentuk sistem yang bisa merupakan bagian dari sistem lain yang lebih
besar atau beririsan dengan sistem lain yang paralel dengan formasi tertentu.
Setiap dimensi memiliki satu bagian penting (bisa tunggal atau kesatuan) yang
sangat mempengaruhi eksistensi dimensi tersebut. Katakanlah bagian penting itu
dengan istilah inti dimensi.
Manusia terdiri dari
dua bagian, ruh dan jasad. Ruh adalah bagian bathin
sedangkan jasad adalah bagian dzahir. Ruh berasal dari taman indah yang
berasal dari keharibaan al-hadrah al-quds, sedangkan jasad berasal dari
tanah liat dan segumpal darah. Atas perintah Allah, ruh ditiupkan kedalam
jasadnya, sehingga pertemuan kedua unsur ini (ruh dan jasad), hiduplah seorang
manusia. Selama ruh masih berada didalam tubuh, maka badan akan terus hidup.
Inilah pengetahuan dasar yang diajarkan kepada kaum muslim sedari dini.
Ruh telah diberi
kesempatan untuk mengenal Tuhannya sebelum jasad tercipta. Ruh telah bercanda
tawa dengan para Malaikat jauh sebelum manusia pertama (Adam) diturunkan kemuka
bumi. Namun setiap ruh telah ditetapkan oleh Allah untuk turun kebumi dan
menempati jasad yang telah disediakan.
Dalam pandangan Islam
tubuh memiliki karakteristik yang fundamental bagi manusia. Tubuh adalah tempat
bersemayamnya panca indera, sehingga dengannya kita dapat melihat, meraba,
mencium dan melihat. (QS. an-Nahl: 78). Melalui pengalaman inderawilah kita
dapat melihat dan membaca ayat-ayat yang tertabur di alam semesta. Jasad adalah
penerima pertama yang bersinggungan langsung dengan data-data dan informasi
yang tersebar dijagad raya. Dengannya kita dapat melihat warna-warni dan
dinamika alam semesta. Tanpa jasad, informasi yang akan kita tangkap untuk
dapat langsung dihubungkan ke ruh agar kemudian diproses lebih lanjut, tidak
akan diterima. Jasad sama sucinya dengan ruh. (Alatas,2006: 126). Meskipun
statemen seperti ini masih dipertentangkan dikalangan ulama. Tapi jelas
kedudukann jasad menjadi hal yang penting dalam turunnya ilmu karena jasad
adalah rumah panca indera. Tanpanya kita tidak akan bisa membaca data informasi
yang terkandung dalam ayat-ayat kebesaran Allah.
Dimensi kedua dalam
diri manusia adalah ruh. Dalam QS. al Isra: 85 berbicara mengenai ruh yang
merupakan tolak ukur keterbatsan akal manusia. Ruh adalah unsure yang tidak
terlihat oleh mata, sehingga pengetahuan mausia tentang ruha hanyalah sebatas
spekulasi belaka, karena ia bersumber dari hikmah ilahiyah. Maka dengan itu
seperti yang ditegaskan oleh ayat tadi di atas, ruh adalah urusan Allah Swt,
kita harus dapat menyadari keterbatasan kita dalam topic ini. Ruh memiliki bagian-bagian yang berbeda
seperti apa yang disampaikan oleh Ghazali yaitu hati (qalb), jiwa (nafs),
roh (ruh) dan akal (‘aql) semua masuk dalam kategori ruh, sebab
empat terminologi ini bersifat bathin. (Imam Ghazali, 2000: 582). Walaupun
bagian-bagian ini bersifat ambigu bagi pengetahuan kita, yang akan dibahas
fokus pada pengertian ruhaniyah karena tentang pengertian jasad dapat dibahas
dalam ranah ilmu psikologi atau ilmu anatomi manusia. Pengertian rohani
sebenarnya merujuk pada realitas manusia, dan esensinya berasal dari alam malakut
dan al-amr. (Alatas, 2006: 135).
a.
Dimensi Fisik Manusia
Dimensi fisik atau
jasmani merupakan citra dari penciptaan manusia yang terdiri dari struktur
organisme fisik. Organisme fisik manusia merupakan organisme yang lebih
sempurna jika dibandingkan dengan makhluk-nakhluk yang lainnya, namun dalam
tahapan penciptaan secara fisik ada kesamaan penciptaan antara manusia dengan
makhluk yang lain. Kerana setiap alam biotik lahiriah mempunyai unsur material
yang sama yaitu; tanah, api, udara dan air (Abdul Majid dan Dian Andayani,
2011: 76).
Keempat materi di
atas merupakan materi yang abiotic, ia akan dapat hidup ketika diberi energy
kehidupan yang bersifat fisik (thaqat al jismiyah), yang lazim disebut
dengan nyawa. Ibnu Maskawaih menyebutnya dengan istlah al Hayat (daya hidup),
sedangkan al Ghazali menyebutnya dengan istilah al ruh jasmaniyat (ruh
material), dimana daya hidup yang demikian itu merupakan vitalitas kehidupan
bagi manusia (Zayadi, 2004: 27 dalam Majid 2011: 76).
b.
Qalb
Qalb menurut pandangan Imam Ghazali terbagi
menjadi dua pengertian: 1). Qalb adalah sebuah daging yang berada
dalam tubuh yang tepatnya sebelah kiri dari dada Qalb berupa daging
khusus berada dalam batin manusia tepatnya dalam sebuah rongga yang dipenuhi
oleh gumpalan darah hitam. Qalb ini adalah anugerah yang diberikan oleh
Allah SWT kepada makhluknya baik hewan maupun manusia. (Imam Ghazali, 2000: Juz
3).
Adapun
perbedaan antara Qalb manusia dan hewan, Qalb manusia dapat
berfungsi dan dapat bekerja serta hidup, sedangkan Qalb hewan tidak berfungsi
dan dapat dikatakan mati untuk kelangsungan hidupnya hewan dianugrahkan oleh
Allah suatu insting, sedangkan manusia menggunakan Qalb untuk
kelangsungan hidupnya. (Muhammad al Husaini, 1998: 203).
2). Qalb adalah suatu yang lembut yang
dianugerahkan Allah yang menjadi hakekat manusia dan dengan Qalb ini
manusia dapat membedakan antara alim dan arif, antara yang halal dan haram. Qalb
inilah yang menunjukkan, menentukan sesuatu yang akan dilakukan oleh manusia
baik perbuatan yang baik maupun yang buruk sehingga kehidupan manusia dan Qalb
juga yang menjadikan sifat manusia seperti binatang bahkan lebih rendah dan
dapat juga menjadikan derajat manusia seperti malaikat bahkan lebih tiggi dan Qalb
ini pula mempunyai hubungan dengan Qalb jismani. (Amin Syukur dan
Fatimah Usman, 2012: 4-6).
Qalb adalah penguasa perbuatan manusia baik
syahwat dan juga marah seperti berbohong, bermusuhan, membunuh dan setiap
pekerjaan yang tercela dari sinilah Qalb mempunyai peran penting untuk
mencegah perbuatan yang tercela tersebut seperti halnya pemerintahan yang mana
seorang khalifah mempunyai kekuasaan atas semua wazir-wazirnya dan apabila
tardapat penyimpangan dari wazir tersebut maka khalifat akan dilepas jabatannya
begitu juga dengan Qalb. Jadi Qalb mempunyai fungsi yang amat
penting dalam perbuatan-perbuatan manusia baik yang mulia maupun yang tercela. (Imam
Ghazali, 2000: 3).
c.
Ruh
Pembahasan tentang
ruh adalah suatu pembahasan yang berkaitan dengan badan atau tubuh, dalam
pembahasan ruh Ghazali membagi pengertian ruh menjadi dua bagian yaitu:
1)
Ruh adalah suatu yang lembut bersumber dari rongga hati jasmani
manusia kemudian tersebar keseluruh pokok-pokok dari bagian tubuh yang
menerangi cahaya kehidupan dan panca indera. Seperti pelita yang menerangi
ruangan dalam suatu rumah maka cahayanya akan menerangi setiap sudut dari rumah
tersebut lalu menjadikan suatu rumah terang benderang karena cahaya yang
diberikan pelita. Begitu pula halnya dengan tubuh yang selalu diterangi oleh
cahaya ruh yang bersih dan terang.
2)
Ruh adalah suatu kelembutan ilmu yang terdapat dalam diri
manusia karena dengan ruh inilah manusia menjadi seorang yang berilmu dan orang
yang bisa membedakan antara baik buruk yang kemudian fungsi ruh adalah
memberikan petunjuk melalui cahayanya yang selalu menerangi dalam tubuh
sehingga manusia mengetahui dan mencapai ma’rifatullah. (Imam Ghazali,
2000: 4). Mungkin ghazali ingin menerangkan bahwa ruh adalah hal yang paling
penting dalam jasad, karena ruh merupakan cahaya yang menerangi jasad, jasad
tanpa ruh bagaikan pohon tanpa buah, dan seperti computer tanpa prossesor.
Ruh manusia memiliki
fakultas-fakultas yang termanifestasikan dalam kaitannya dengan tubuh yaitu (Amin
Syukur, 2012: 170-178),
1)
Fakultas Nabati terbagi menjadi tiga kekuatan yaitu
kekuatan nutrisi berfungsi untuk mengatur kekuatan tubuh; kekuatan pertumbuhan
untuk mengatur jasmani; kekuatan reproduksi untuk mengatur lajur reproduksi.
2)
Fakultas Hewani memiliki kekuatan untuk melakukan aksi
yang didorong oleh keinginan dan persepsi. Gerakan tersebut dikontrol oleh
fakultas ini dan aktifitasnya diatur oleh dua sub-fakultas: keinginan (al-syahwaniyyah)
dan kemarahan (al-ghadhabiyyah). (Imam Ghazali, 1981: 37). Fakultas
ini dilengkapi dengan panca indera yang untuk mempersepsikan hal-hal partikular
dari dunia eksternal, dilengkapi juga dengan lima indera internal yang
diklasifikasikan menjadi tiga macam: ada indera yang mempersepsikan tapi tidak
menyimpan yaitu akal sehat/common sense (al-hiss al-musytarak) dan
Indera Estimasi (al-wahmiyyah), dan ada yang menyimpan
tapi tidak melakukan aksi yaitu indera representatif (al-khayaliyyah)
dan indera retentif rekolektif (al-hafidzah al-dzakirah) dan ada yang
mempersepsikan dan berkasi terhadapnya yaitu indera imajinatif (al-mutakhayyilah).
(Imam Ghazali, 1981: 150).
3)
Fakultas Insani hanya dimiliki oleh manusia atau
dengan kata lain biasa disebut terminologi akal.
d.
Nafs
Nafs adalah kekuatan
yang menghimpun sifat-sifat tercela pada manusia, yang harus ada perlawanan
untuk memeranginya. (Amin Syukur, 2012: 67) Dalam pembahasan Nafs Ghazali
membagi arti menjadi dua:
1)
Nafs adalah kekuatan amarah dan syahwat dalam diri manusia yang
kebanyakan diartikan dalam ilmu tasawuf bahwa Nafs adalah suatu sifat yang
tercela dalam diri manusia karena dengan Nafslah manusia dapat terjerumus dalam
perbuatan yang tercela dan dengan Nafsnya pulalah manusia dapat menjadi seorang
yang mempunyai sifat yang terpuji seperti orang yang sering berbuat kehinaan
adalah orang yang mengikuti Nafs syahwatnya sedangkan orang yangterpuji adalah
orang yang dapat mengendalikan sifat yang terpuji.
2)
Nafs adalah kelembutan dalam suatu hakekat manusia Nafs manusia
dan dzat manusia mempunyai sifat yang bermacam-macam sesuai dengan keadaan
manusia apabila dalam suatu permasalahan Nafs syahwat dapat terkendali maka
disebut Nafs mut’mainnah. Apabila dalam suatu permasalahan manusia berada jauh
atau tidak terdapat sifat Allah dan bukan merupakan Nafs dari Allah melainkan
Nafs yang datang dari ajakan golongan setan maka disebut dengan Nafs lawwamah.
Sedangkan manusia yang mengedepankan Nafs dan syahwatnya dalam suatu permasalahan
dan mengikuti ajakan setan maka Nafs ini disebut Nafs amrotu bissu’. (al
Husaini, 1998: 206-208).
e.
‘Aql
Kata
akal berasal dari kata dalam bahasa Arab, al-‘aql. Kata al-‘aql
adalah mashdar dari kata ‘aqola – ya’qilu – ‘aqlan yang
maknanya adalah “ fahima wa tadabbaro “ yang artinya “paham (tahu,
mengerti) dan memikirkan (menimbang) “. Maka al-‘aql, sebagai mashdar,
maknanya adalah “ kemampuan memahami dan memikirkan sesuatu “. Sesuatu itu bisa
ungkapan, penjelasan, fenomena, dan lain-lain, semua yang ditangkap oleh panca
indra. (Quraish Shihab, 2007: 388).
Menurut
Imam Ghazali akal adalah suatu jembatan untuk mencapai suatu ilmu sedangkan
ilmu adalah satu dan tidak terbagi ataupun menempati suatu ruang, karena
apabila ilmu menempati ruang maka ilmu akan musnah dan tidak dapat terbagi
karena apabila ilmu terbagi maka akan hilang sebagian dan akan abadi sebagian
yang lain. (Imam Ghazali, 2000: 4). Akal adalah salah satu bagian ruh yang
tempatnya paralel dengan otak yang ada dalam jasad. Tetapi perlu ditekankan
bahwa akal adalah sebuah unsur yang tidak terlihat sehingga keberadaannya hanya
bisa dirasakan dalam bagian rohani manusia.
Akal
memiliki dua kekuatan: aktif (amaliah) dan kognitif (alimah) akal aktif
berfungsi memotori gerakan dalam tubuh manusia. Ia berupa nalar partikal yang
mendireksikan aksi-aksi individual sesuai dengan fakultas teoritis dalam akal
kognitif. Akal kognitif mengatur penerimaan forma-forma yang bersifat universal
dan telah terpisah dari segala unsure-unsur aksidental. (Alatas, 2006: 141).
Pada
hakikatnya keempat dimensi diatas merujuk pada satu realitas, yaitu esensi
manusia yang berupa substansi spiritual yang tidak terbagi dan identik dengan
ruh. Terminologi di atas lebih merujuk kepada kondisi yang dihadapi oleh ruh,
yaitu pada saat ia sedang melakukan proses berfikir yang disebut ‘aql; pada
saat ia mengatur tubuh jasmaninya ia disebut nafs; pada saat ia bertindak
sebagai organ kognitif yang dapat menerima iluminasi intuitif maupun maupun
pemberian Ilahiyyah yang lain disebut qalb; dan pada saat ia menghadap ke
alamnya sendiri, yaitu alam entitas-entitas abstrak, ia disebut ruh. (Alatas,
2006: 135).
A. KESIMPULAN
1. Manusia adalah makhluk ciptaan yang paling sempurna, sebagai
anak keturunan Adam, dan dapat pula disebut sebagai al-basyar, al-insan
dan al-nas.
2. Dalam kajian Ilmu Tasawwuf, manusia dalam sejarahnya
memang sudah tercipta sebagai mahkluk spiritual murni dengan dilengkapi oleh
kekuatan intelektual, emosional dan spiritual. Ditambah lagi dengan perangkat
yang disediakan Allah yaitu,berupa fisik manusia, Qalb, Ruh, Nafs dan ‘Aql
semuanya ini saling berhubungan dan mempunyai fungsi masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Hatta, DR.,MA. Tafsir Qur’an Per Kata Dilengkapi Azbabun Nuzul dan Terjemah.
Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2009.
Alatas,
Ismail F, Risalah Konsep Ilmu Dalam Islam, Jakarta: Diwan, 2006.
Al-Ghazali,
Abi Hamid Muhammad Bin Muhammad Bin Muhammad, Kimia’ Al-Sa’adah, Surabaya:
Al-Hidayah, 1997.
Al-Attas,
Syed Muhammad Naquib, Islam Dan Secularism, Kuala Lumpur: ISTAC, 1993.
Al-husaini,
Sayyid Muhammad Bin Muhammad, Ittihaf Al-Sadat Al-Muttaqin, Juz VII,
Beirut: Dar-Alfikr, 1998.
Choliq, Abdul, Pendidikan Islam
Perspektif Imam Al Ghazali dan Ibnu Khaldun, Depok: Literatur Nusantara
(Linus), 2012.
Dewan
Redaksi, Ensklopedi Islam vol. 4, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.
Dewan
Redaksi, Syaamil Al-Qur’an Miracle The Reference, Bandung: Sigma
Publisher, 2011.
Ghazali,
Imam al-, Ihya’ Ulumu Ad-Din, Beirut: Dar-alfikr, 2000.
Ghazali,
Imam al-, Ma’arij Al-Quds Fi Madarij
Ma’rifat An-Nafs, Beirut: Dar Al-Faq Al-Jadidah, 1981.
Majid, Abdul dan Andayani, Dian, Pendidikan
Karakter Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.
Shihab,
M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan1428/2007.
Syukur, Amin, Zuhud di Abad
Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
____________, Menggugat Tasawuf,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
____________, Terapi Hati,
Jakarta: Erlangga, 2012.
____________, Tasawuf Sosial,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
____________, Intelektualisme
Tasawuf, Semarang: LEMBKOTA, 2012.
____________, Pengantar Studi
Islam, Semarang: Pustaka Nuun, 2010.
____________, Tasawuf Bagi
Orang Awam, Pustaka Pelajar, 2012.
Tim Penyusun, Islam Rahmatan
Lil’alamin, Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar