Jumat, 08 Februari 2013

Multidimensi Manusia


MULTIDIMENSI MANUSIA




 








OLEH:


            DUDIYONO           NIM. 391.9.1.12




MAKALAH

Diajukan kepada Program Pascasarjana Universitas Sains Al Qur’an
Jawa Tengah di Wonosobo Program Studi Magister Pendidikan Islam
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Akhir Semester
pada Mata Kuliah Pengembangan Pedidikan Akhlaq
Dosen Pengampu Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, MA.



 

UNIVERSITAS SAINS AL QUR’AN
JAWA TENGAH DI WONOSOBO
TAHUN 2013



A.      Pendahuluan
Manusia telah diciptakan oleh Allah Swt dengan derajat yang tinggi dan penuh dengan kemuliaan. Manusia mempunyai kemuliaan yang lebih tinggi dari makhluk apapun di jagad raya ini. Manusia lebih mulia dari malaikat karena pada hakikatnya Malaikat terdiam menunggu intruksi dari Allah Swt atas tugas apa yang akan diberikan kepada mereka, akan tetapi manusia diberi kehendak oleh Allah Swt untuk berbuat sesuatu.  Termasuk kehendak yang telah diberikan Allah kepada manusia berupa amanah agar manusia menjadi khalifah di bumi, sehingga manusia memiliki kewajiban untuk mengelola alam namun tidak terlepas dari aturan-aturan yang telah ditetapkan-Nya. (Amin Syukur, 2004: 166).
Kemuliaan manusia tentu juga lebih tinggi dibandingkan dengan syetan. Syetan tidak dapat berada pada jalan kebenaran, akan tetapi manusia dapat berbuat benar meskipun manusia juga tidak jarang melakukan kesalahan. Demikian halnya ketika manusia di bandingkan dengan hewan, tentu manusia akan lebih tinggi derajat dan kemuliaannya daripada hewan, karena secerdas apapun makhluk yang namanya hewan tentu hewan tersebut tidak akan memiliki akal sebagaimana manusia yang telah dianugrahi Allah Swt berupa akal sehingga mampu berpikir untuk memperoleh kebahagiaannya. (Abdul Choliq, 2012: 2-3) Itulah manusia yang telah dijadikan sebagai makhluk multidimensi, tidak hanya terdiri dari akal tetapi banyak dimensi-dimensi lain yang ada dalam diri manusia.
Manusia juga akan Nampak kemuliaannya jika dibandingkan dengan bumi, gunung ataupun lautan. Karena manusia memiliki nyawa sementara bumi, gunung dan lautan adalah makhluk Allah yang tak bernyawa. Manusia juga telah diciptakan Allah disempurnakan dengan adanya ruh dan jasad yang ada pada manusia. hal inilah yang telah menjadikan manusia sebagai makhluk yang multidimensia, sebagaimana difirmankan Allah Swt dalam QS. At Tin/95: 4 berikut: 

Artinya: “Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang multidimensi(Q.S.At-Tin:4).

Meskipun manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya. Tapi kita hanya mampu mengetahui beberapa segi tertentu dari diri kita. Sehingga tulisan ini hadir untuk mengamalkan salah satu hadist Rosululloh Saw “Barang siapa yang mengetahui dimensi dirinya, maka dia akan mengetahui dimensi Tuhannya”. Sebab menurut Imam Ghazali hadist ini adalah keharusan bagi siapapun yang ingin untuk mengetahui tentang dimensi ketuhanan. (Al Ghazali, 1997: 5) Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang bagaimana multidimensionalitas manusia.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka masalah yang diajukan oleh penulis dalam makalah ini adalah
1.        Bagaimana Manusia dalam Perspektif Islam?
2.        Mengapa manusia disebut sebagai makhluk yang multidimensionalitas?

C.      Tujuan Pembahasan Masalah
Penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1.        Memperoleh pemahaman tentang manusia dalam perspektif Islam
2.        Mengetahui multidimensionalitas manusia

D.      Pembahasan Masalah
1.        Manusia dalam Perspektif Islam
Eksistensi manusia lahir ke muka bumi bukanlah atas kehendaknya sendiri, ataupun hasil dari evolusi alamiah, akan tetapi merupakan kehendak dari dzat yang Maha Absolut Allah Swt. Dengan demikian maka manusia  dalam perjalananan hidupnya tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan yang telah digariskan oleh Allah Swt, karena manusia sendiri berada pada posisi yang lemah sehingga tidak dapat menolak apa yang sudah menjadi kehendak-Nya. (Abdul Majid dan Dian Andayani, 2011: 65).
Secara terminologis dalam al Qur’an manusia dapat disebut juga sebagai al-basyar, al-insan dan al-nas. Al-basyar seringkali disebut dalam Al Qur’an, al-basyar dapat berarti bahwa manusia sebagai makhluk biologis, sebagaimana digambarkan dalam firman Allah Swt berikut:

Artinya:   Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin Aku mempunyai anak, padahal Aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun." Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, Maka Allah Hanya cukup Berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah Dia. (QS. Ali Imran: 47).

Menurut Ali Syari’ati dalam Amin Syukur (2010: 7) bahwa al-basyar merupakan manusia yang essensi kemanusiannya tidak Nampak dan aktivitasnya serupa dengan binatang.
Berbeda halnnya dengan al-insan, ia dihubungkan dengan kekhalifahan dan pemikul amanah, predisposisi negative pada diri manusia dan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia. Al-insan juga memiliki keistimewaan berupa berilmu pengetahuan, memiliki daya nalar sehingga manusia disebut juga sebagai ulum albab, sebagaimana firman Allah Swt berikut:

Artinya:   Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, Maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi Kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, Kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. (QS. al Zumar: 21).

Manusia juga diistilahkan dengan al-nas yang merupakan konsep bahwasanya manusia adalah sebagai makhluk social. Hal ini menunjukkan bahwa manusia telah lahir dan tumbuh dengan memiliki berbagai keistimewaan dan keunikan yang berbeda  yang dimiliki oleh masing-masing kelompoknya. (Tim Penyusun, 2011: 93-94) Dengan demikian makna “manusia” dapat diasimpulkan bahwa manusia merupakan makhluk biologis, psikologiss dan sosial, yang ketiganya itu harus dikembangkan dan diperhatikan antara hak dan kewajibannya secara seimbanng dan tentunya senantiasa berada pada hokum-hukum yang telah ditentukan. (Amin Syukur, 2010: 9).
Proses penciptaan manusia sebagaimana diinformasikan dalam (QS. al Shaffat: 11) adalah berasal dari tanah liat (thin), bias juga berasal dari tanah (turab) berdasarkan (QS. Ali Imran:59). Disamping itu Allah telah menjelaskan tentang proses kejadian manusia sebagaimana digambarkan dalam (QS. al Mu’minun: 12-14) berikut:

Artinya:   12. Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. 13. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). 14. Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.

Tentang asal-usul manusia, menurut Islam manusia sekarang ini adalah keturunan dari Adam, tentu berbeda dengan pendapat Darwin dengan teori evolusinya yang hanya menampakkan dari sisi jasmaniah saja. Manusia diciptakan dalam bentuk yang sempurna baik secara fisik maupun psikis, meskipun bisa saja pada suatu saat manusia akan berbalik arah menjadi bentuk yang paling hina ketika manusia tidak mampu lagi untuk mempertahankan  dan menjaga kesempurnaannya itu. (Amin Syukur, 2012: 151)
Bahkan ketika tidak dapat menjaga kesempurnaannya manusia akan lebih hina dan bagaikan binatang karena tidak dapat menjaga keimananan, beramal shalih dan berserah diri kepada Allah Swt (QS. Ali Imran: 110), sehingga memperoleh derajat kemuliaan haqiqi berupa ketaqwaan kepada-Nya (QS. al Hujurat: 13).

2. Multidimensionalitas Manusia
Manusia adalah makhluk dwi dimensi, dikatakan demikian karena manusia tecipta dari tanah dan ruh ilahi. Manusia dapat diibaratkan dengan air, dimana air itu terdiri dari kadar-kadar tertentu dari hydrogen dan oksigen. (Quraish Shihab, 2008: 149).
Syaibani dalam Tafsir (2008: 29) manusia terdiri dari tiga unsur yaitu jasmani, akal dan ruhani. Berbeda halnya dengan pendapat Zayadi (2004: 24), ia berpendapat bahwa dimensi manusia itu terbagi menjadi tiga bagian yaitu; dimensi fisik ( jasmani/jasad), dimensi psikhis (ruhani) dan dimensi psikofisik yang lazim disebut dengan nafs.
Mungkin dengan bahasa yang lebih sederhana, bahwa dimensi adalah kumpulan parameter dan tata nilai yang membentuk sistem yang bisa merupakan bagian dari sistem lain yang lebih besar atau beririsan dengan sistem lain yang paralel dengan formasi tertentu. Setiap dimensi memiliki satu bagian penting (bisa tunggal atau kesatuan) yang sangat mempengaruhi eksistensi dimensi tersebut. Katakanlah bagian penting itu dengan istilah inti dimensi.   
Manusia terdiri dari dua bagian, ruh dan jasad. Ruh adalah bagian bathin sedangkan jasad adalah bagian dzahir. Ruh berasal dari taman indah yang berasal dari keharibaan al-hadrah al-quds, sedangkan jasad berasal dari tanah liat dan segumpal darah. Atas perintah Allah, ruh ditiupkan kedalam jasadnya, sehingga pertemuan kedua unsur ini (ruh dan jasad), hiduplah seorang manusia. Selama ruh masih berada didalam tubuh, maka badan akan terus hidup. Inilah pengetahuan dasar yang diajarkan kepada kaum muslim sedari dini.
Ruh telah diberi kesempatan untuk mengenal Tuhannya sebelum jasad tercipta. Ruh telah bercanda tawa dengan para Malaikat jauh sebelum manusia pertama (Adam) diturunkan kemuka bumi. Namun setiap ruh telah ditetapkan oleh Allah untuk turun kebumi dan menempati jasad yang telah disediakan.
Dalam pandangan Islam tubuh memiliki karakteristik yang fundamental bagi manusia. Tubuh adalah tempat bersemayamnya panca indera, sehingga dengannya kita dapat melihat, meraba, mencium dan melihat. (QS. an-Nahl: 78). Melalui pengalaman inderawilah kita dapat melihat dan membaca ayat-ayat yang tertabur di alam semesta. Jasad adalah penerima pertama yang bersinggungan langsung dengan data-data dan informasi yang tersebar dijagad raya. Dengannya kita dapat melihat warna-warni dan dinamika alam semesta. Tanpa jasad, informasi yang akan kita tangkap untuk dapat langsung dihubungkan ke ruh agar kemudian diproses lebih lanjut, tidak akan diterima. Jasad sama sucinya dengan ruh. (Alatas,2006: 126). Meskipun statemen seperti ini masih dipertentangkan dikalangan ulama. Tapi jelas kedudukann jasad menjadi hal yang penting dalam turunnya ilmu karena jasad adalah rumah panca indera. Tanpanya kita tidak akan bisa membaca data informasi yang terkandung dalam ayat-ayat kebesaran Allah.
Dimensi kedua dalam diri manusia adalah ruh. Dalam QS. al Isra: 85 berbicara mengenai ruh yang merupakan tolak ukur keterbatsan akal manusia. Ruh adalah unsure yang tidak terlihat oleh mata, sehingga pengetahuan mausia tentang ruha hanyalah sebatas spekulasi belaka, karena ia bersumber dari hikmah ilahiyah. Maka dengan itu seperti yang ditegaskan oleh ayat tadi di atas, ruh adalah urusan Allah Swt, kita harus dapat menyadari keterbatasan kita dalam topic ini.  Ruh memiliki bagian-bagian yang berbeda seperti apa yang disampaikan oleh Ghazali yaitu hati (qalb), jiwa (nafs), roh (ruh) dan akal (‘aql) semua masuk dalam kategori ruh, sebab empat terminologi ini bersifat bathin. (Imam Ghazali, 2000: 582). Walaupun bagian-bagian ini bersifat ambigu bagi pengetahuan kita, yang akan dibahas fokus pada pengertian ruhaniyah karena tentang pengertian jasad dapat dibahas dalam ranah ilmu psikologi atau ilmu anatomi manusia. Pengertian rohani sebenarnya merujuk pada realitas manusia, dan esensinya berasal dari alam malakut dan al-amr. (Alatas, 2006: 135).
a.        Dimensi Fisik Manusia
Dimensi fisik atau jasmani merupakan citra dari penciptaan manusia yang terdiri dari struktur organisme fisik. Organisme fisik manusia merupakan organisme yang lebih sempurna jika dibandingkan dengan makhluk-nakhluk yang lainnya, namun dalam tahapan penciptaan secara fisik ada kesamaan penciptaan antara manusia dengan makhluk yang lain. Kerana setiap alam biotik lahiriah mempunyai unsur material yang sama yaitu; tanah, api, udara dan air (Abdul Majid dan Dian Andayani, 2011: 76).
Keempat materi di atas merupakan materi yang abiotic, ia akan dapat hidup ketika diberi energy kehidupan yang bersifat fisik (thaqat al jismiyah), yang lazim disebut dengan nyawa. Ibnu Maskawaih menyebutnya dengan istlah al Hayat (daya hidup), sedangkan al Ghazali menyebutnya dengan istilah al ruh jasmaniyat (ruh material), dimana daya hidup yang demikian itu merupakan vitalitas kehidupan bagi manusia (Zayadi, 2004: 27 dalam Majid 2011: 76).

b.        Qalb
Qalb menurut pandangan Imam Ghazali terbagi menjadi dua pengertian: 1). Qalb adalah sebuah daging yang berada dalam tubuh yang tepatnya sebelah kiri dari dada Qalb berupa daging khusus berada dalam batin manusia tepatnya dalam sebuah rongga yang dipenuhi oleh gumpalan darah hitam. Qalb ini adalah anugerah yang diberikan oleh Allah SWT kepada makhluknya baik hewan maupun manusia. (Imam Ghazali, 2000: Juz 3).
Adapun perbedaan antara Qalb manusia dan hewan, Qalb manusia dapat berfungsi dan dapat bekerja serta hidup, sedangkan Qalb hewan tidak berfungsi dan dapat dikatakan mati untuk kelangsungan hidupnya hewan dianugrahkan oleh Allah suatu insting, sedangkan manusia menggunakan Qalb untuk kelangsungan hidupnya. (Muhammad al Husaini, 1998: 203).
2). Qalb adalah suatu yang lembut yang dianugerahkan Allah yang menjadi hakekat manusia dan dengan Qalb ini manusia dapat membedakan antara alim dan arif, antara yang halal dan haram. Qalb inilah yang menunjukkan, menentukan sesuatu yang akan dilakukan oleh manusia baik perbuatan yang baik maupun yang buruk sehingga kehidupan manusia dan Qalb juga yang menjadikan sifat manusia seperti binatang bahkan lebih rendah dan dapat juga menjadikan derajat manusia seperti malaikat bahkan lebih tiggi dan Qalb ini pula mempunyai hubungan dengan Qalb jismani. (Amin Syukur dan Fatimah Usman, 2012: 4-6).
Qalb adalah penguasa perbuatan manusia baik syahwat dan juga marah seperti berbohong, bermusuhan, membunuh dan setiap pekerjaan yang tercela dari sinilah Qalb mempunyai peran penting untuk mencegah perbuatan yang tercela tersebut seperti halnya pemerintahan yang mana seorang khalifah mempunyai kekuasaan atas semua wazir-wazirnya dan apabila tardapat penyimpangan dari wazir tersebut maka khalifat akan dilepas jabatannya begitu juga dengan Qalb. Jadi Qalb mempunyai fungsi yang amat penting dalam perbuatan-perbuatan manusia baik yang mulia maupun yang tercela. (Imam Ghazali, 2000: 3).

c.         Ruh 
Pembahasan tentang ruh adalah suatu pembahasan yang berkaitan dengan badan atau tubuh, dalam pembahasan ruh Ghazali membagi pengertian ruh menjadi dua bagian yaitu:
1)        Ruh adalah suatu yang lembut bersumber dari rongga hati jasmani manusia kemudian tersebar keseluruh pokok-pokok dari bagian tubuh yang menerangi cahaya kehidupan dan panca indera. Seperti pelita yang menerangi ruangan dalam suatu rumah maka cahayanya akan menerangi setiap sudut dari rumah tersebut lalu menjadikan suatu rumah terang benderang karena cahaya yang diberikan pelita. Begitu pula halnya dengan tubuh yang selalu diterangi oleh cahaya ruh yang bersih dan terang.
2)        Ruh adalah suatu kelembutan ilmu yang terdapat dalam diri manusia karena dengan ruh inilah manusia menjadi seorang yang berilmu dan orang yang bisa membedakan antara baik buruk yang kemudian fungsi ruh adalah memberikan petunjuk melalui cahayanya yang selalu menerangi dalam tubuh sehingga manusia mengetahui dan mencapai ma’rifatullah. (Imam Ghazali, 2000: 4). Mungkin ghazali ingin menerangkan bahwa ruh adalah hal yang paling penting dalam jasad, karena ruh merupakan cahaya yang menerangi jasad, jasad tanpa ruh bagaikan pohon tanpa buah, dan seperti computer tanpa prossesor.
Ruh manusia memiliki fakultas-fakultas yang termanifestasikan dalam kaitannya dengan tubuh yaitu (Amin Syukur, 2012: 170-178),
1)        Fakultas Nabati terbagi menjadi tiga kekuatan yaitu kekuatan nutrisi berfungsi untuk mengatur kekuatan tubuh; kekuatan pertumbuhan untuk mengatur jasmani; kekuatan reproduksi untuk mengatur lajur reproduksi.
2)        Fakultas Hewani memiliki kekuatan untuk melakukan aksi yang didorong oleh keinginan dan persepsi. Gerakan tersebut dikontrol oleh fakultas ini dan aktifitasnya diatur oleh dua sub-fakultas: keinginan (al-syahwaniyyah) dan kemarahan (al-ghadhabiyyah). (Imam Ghazali, 1981: 37). Fakultas ini dilengkapi dengan panca indera yang untuk mempersepsikan hal-hal partikular dari dunia eksternal, dilengkapi juga dengan lima indera internal yang diklasifikasikan menjadi tiga macam: ada indera yang mempersepsikan tapi tidak menyimpan yaitu akal sehat/common sense (al-hiss al-musytarak) dan Indera Estimasi (al-wahmiyyah), dan ada yang menyimpan tapi tidak melakukan aksi yaitu indera representatif (al-khayaliyyah) dan indera retentif rekolektif (al-hafidzah al-dzakirah) dan ada yang mempersepsikan dan berkasi terhadapnya yaitu indera imajinatif (al-mutakhayyilah). (Imam Ghazali, 1981: 150).
3)        Fakultas Insani hanya dimiliki oleh manusia atau dengan kata lain biasa disebut terminologi akal.

d.        Nafs  
Nafs adalah kekuatan yang menghimpun sifat-sifat tercela pada manusia, yang harus ada perlawanan untuk memeranginya. (Amin Syukur, 2012: 67) Dalam pembahasan Nafs Ghazali membagi arti menjadi dua:
1)        Nafs adalah kekuatan amarah dan syahwat dalam diri manusia yang kebanyakan diartikan dalam ilmu tasawuf bahwa Nafs adalah suatu sifat yang tercela dalam diri manusia karena dengan Nafslah manusia dapat terjerumus dalam perbuatan yang tercela dan dengan Nafsnya pulalah manusia dapat menjadi seorang yang mempunyai sifat yang terpuji seperti orang yang sering berbuat kehinaan adalah orang yang mengikuti Nafs syahwatnya sedangkan orang yangterpuji adalah orang yang dapat mengendalikan sifat yang terpuji.
2)        Nafs adalah kelembutan dalam suatu hakekat manusia Nafs manusia dan dzat manusia mempunyai sifat yang bermacam-macam sesuai dengan keadaan manusia apabila dalam suatu permasalahan Nafs syahwat dapat terkendali maka disebut Nafs mut’mainnah. Apabila dalam suatu permasalahan manusia berada jauh atau tidak terdapat sifat Allah dan bukan merupakan Nafs dari Allah melainkan Nafs yang datang dari ajakan golongan setan maka disebut dengan Nafs lawwamah. Sedangkan manusia yang mengedepankan Nafs dan syahwatnya dalam suatu permasalahan dan mengikuti ajakan setan maka Nafs ini disebut Nafs amrotu bissu’. (al Husaini, 1998: 206-208).

e.         ‘Aql  
Kata akal berasal dari kata dalam bahasa Arab, al-‘aql. Kata al-‘aql adalah mashdar dari kata ‘aqolaya’qilu‘aqlan yang maknanya adalah “ fahima wa tadabbaro “ yang artinya “paham (tahu, mengerti) dan memikirkan (menimbang) “. Maka al-‘aql, sebagai mashdar, maknanya adalah “ kemampuan memahami dan memikirkan sesuatu “. Sesuatu itu bisa ungkapan, penjelasan, fenomena, dan lain-lain, semua yang ditangkap oleh panca indra. (Quraish Shihab, 2007: 388).
Menurut Imam Ghazali akal adalah suatu jembatan untuk mencapai suatu ilmu sedangkan ilmu adalah satu dan tidak terbagi ataupun menempati suatu ruang, karena apabila ilmu menempati ruang maka ilmu akan musnah dan tidak dapat terbagi karena apabila ilmu terbagi maka akan hilang sebagian dan akan abadi sebagian yang lain. (Imam Ghazali, 2000: 4). Akal adalah salah satu bagian ruh yang tempatnya paralel dengan otak yang ada dalam jasad. Tetapi perlu ditekankan bahwa akal adalah sebuah unsur yang tidak terlihat sehingga keberadaannya hanya bisa dirasakan dalam bagian rohani manusia. 
Akal memiliki dua kekuatan: aktif (amaliah) dan kognitif (alimah) akal aktif berfungsi memotori gerakan dalam tubuh manusia. Ia berupa nalar partikal yang mendireksikan aksi-aksi individual sesuai dengan fakultas teoritis dalam akal kognitif. Akal kognitif mengatur penerimaan forma-forma yang bersifat universal dan telah terpisah dari segala unsure-unsur aksidental. (Alatas, 2006: 141).
Pada hakikatnya keempat dimensi diatas merujuk pada satu realitas, yaitu esensi manusia yang berupa substansi spiritual yang tidak terbagi dan identik dengan ruh. Terminologi di atas lebih merujuk kepada kondisi yang dihadapi oleh ruh, yaitu pada saat ia sedang melakukan proses berfikir yang disebut ‘aql; pada saat ia mengatur tubuh jasmaninya ia disebut nafs; pada saat ia bertindak sebagai organ kognitif yang dapat menerima iluminasi intuitif maupun maupun pemberian Ilahiyyah yang lain disebut qalb; dan pada saat ia menghadap ke alamnya sendiri, yaitu alam entitas-entitas abstrak, ia disebut ruh. (Alatas, 2006: 135).

A.      KESIMPULAN
1.     Manusia adalah makhluk ciptaan yang paling sempurna, sebagai anak keturunan Adam, dan dapat pula disebut sebagai al-basyar, al-insan dan al-nas.
2.     Dalam kajian Ilmu Tasawwuf, manusia dalam sejarahnya memang sudah tercipta sebagai mahkluk spiritual murni dengan dilengkapi oleh kekuatan intelektual, emosional dan spiritual. Ditambah lagi dengan perangkat yang disediakan Allah yaitu,berupa fisik manusia, Qalb, Ruh, Nafs dan ‘Aql semuanya ini saling berhubungan dan mempunyai fungsi masing-masing.

 
DAFTAR PUSTAKA
 
Ahmad Hatta, DR.,MA. Tafsir Qur’an Per Kata Dilengkapi Azbabun Nuzul dan Terjemah. Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2009.
Alatas, Ismail F, Risalah Konsep Ilmu Dalam Islam, Jakarta: Diwan, 2006.
Al-Ghazali, Abi Hamid Muhammad Bin Muhammad Bin Muhammad, Kimia’ Al-Sa’adah, Surabaya: Al-Hidayah, 1997.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam Dan Secularism, Kuala Lumpur: ISTAC, 1993.
Al-husaini, Sayyid Muhammad Bin Muhammad, Ittihaf Al-Sadat Al-Muttaqin, Juz VII, Beirut: Dar-Alfikr, 1998.
Choliq, Abdul, Pendidikan Islam Perspektif Imam Al Ghazali dan Ibnu Khaldun, Depok: Literatur Nusantara (Linus), 2012.
Dewan Redaksi, Ensklopedi Islam vol. 4, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.
Dewan Redaksi, Syaamil Al-Qur’an Miracle The Reference, Bandung: Sigma Publisher, 2011.
Ghazali, Imam al-, Ihya’ Ulumu Ad-Din, Beirut: Dar-alfikr, 2000.
Ghazali, Imam al-,  Ma’arij Al-Quds Fi Madarij Ma’rifat An-Nafs, Beirut: Dar Al-Faq Al-Jadidah, 1981. 
Majid, Abdul dan Andayani, Dian, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan1428/2007. 
Syukur, Amin, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
____________, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
____________, Terapi Hati, Jakarta: Erlangga, 2012.
____________, Tasawuf Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
____________, Intelektualisme Tasawuf, Semarang: LEMBKOTA, 2012.
____________, Pengantar Studi Islam, Semarang: Pustaka Nuun, 2010.
____________, Tasawuf Bagi Orang Awam, Pustaka Pelajar, 2012.
Tim Penyusun, Islam Rahmatan Lil’alamin, Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia, 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar