URGENSI
AKTUALISASI KERUKUNAN DALAM PERBEDAAN[1]
(Perspektif Al- Qur’an Surat Al-Maidah/5
: 48)
A. Pendahuluan
Perbedaan
dalam kehidupan umat manusia adalah fakta dan fenomena yang sudah tidak dapat
lagi untuk dihindari. Terciptanya milyaran manusia di seantero jagad raya yang
penuh dengan perbedaan dan kemajemukan telah menjadi tradisi Islam yang memang
telah ditegaskan berkali-kali di dalam kitab suci Al-Qur’an, bahwa semua itu
merupakan sunnah Allah SWT (ketetapan dari Allah SWT).[2]
Perkembangan
kemajemukan[3]
dapat menuju ke arah yang positif akan tetapi dapat juga menuju ke arah
negatif. Pluralitas akan berjalan menuju
ke arah yang positif ketika individu mampu dan mau memahami secara tulus bahwa
di luar agamanya itu ada agama yang dianut oleh individu lainnya yang wajib
dihormati, dan masing-masing dari individu yang beragama mampu memegang teguh
agamanya sebagai wujud dari sikap positif terhadap agamanya itu.[4]
Di sisi lain pluralitas akan berkembang secara negative ketika individu
menggambarkan bahwa agama seperti daun salam yang digunakan hanya untuk
penyedap rasa saja sehingga ketika makanan itu sudah terasa enaknya maka tanpa
rasa berdosa kemudian daun salam itu dibuang tanpa beban.
Fenomena
yang terjadi di tengah masyarakat akhir-akhir ini seringkali terjadi anarkhisme
yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan kelompok atau golongan
agama tertentu, berperilaku beringas kepada kelompok lain dan tak jarang
memusuhi dengan berslogan membid’ahkan golongan lain hanya karena ritual ibadah
yang dilakukan tidak sepadan dengan apa yang dilakukan oleh kelompok tersebut
dengan alasan bahwa Nabi SAW ketika itu sama sekali tidak melakukan ritual
ibadah ataupun apa saja yang dilakukan oleh umat sekarang.[5]
Padahal
jika saja semua penganut agama atau kelompok agama itu mengamalkan dengan benar
dan sungguh-sungguh ajaran agama yang dianutnya niscaya akan ada kebahagiaan
haqiqi baik di dunia ini maupun kehidupan setelah mati nanti (di akherat).
Tujuan
akhir (ultimate goal) kehidupan manusia adalah tercapainya kebenaran
akhir (ultimate truth), kebenaran terakhir akan didapatkan tidak lain
adalah kebenaran yang datang dari Tuhan itu sendiri atau dapat dikatakan
kebenaran Ilahi. Dengan demikian tidak seorangpun manusia yang dapat mengklaim
bahwa kebenaran yang datang dari manusia merupakan kebenaran yang absolut, yang
kemudian dengan sekuat tenaga mempertahankan kebenaran yang dianutnya itu.
Sebagai muslim sudah seharusnya untuk mempunyai kesadaran yang mendalam terhadap
kemanusiaannya yang relatif di tengah kehidupan yang plural.[6]
Dalam
rangka mengantisipasi dinamika kemajemukan negatif tersebut diperlukan kedewasaan
dalam bertindak dan berpikir. Sebagai muslim dalam memahami ajaran agama Islam
tidaklah cukup hanya memahami dari segi teks normatifnya saja melainkan harus
senantiasa menggali makna ajaran tersebut secara mendalam dengan prinsip
keadilan, kesetaraan, perdamaian dan kemaslahatan.
B. Rumusan Masalah Penulisan
Berdasarkan pendahuluan di atas, rumusan
masalah yang penulis ajukan adalah:
1. Apa pengertian metodologi tafsir Al-Qur’an?
2. Apa saja bentuk dan metode-metode penafsiran
Al-Qur’an?
3. Bagaimana Tafsir Al-Qur’an Surat al-Maidah/5 :
48 terkait urgensi aktualisasi kerukunan dalam perbedaan?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai
dengan rumusan masalah penulisan tersebut maka tujuan penulisan ini adalah
untuk mengetahui:
1. Pengertian metodologi tafsir Al-Qur’an
2. Bentuk dan Metode-metode penafsiran dalam
Al-Qur’an
3. Tafsir Al-Qur’an Surat al-Maidah/5 : 48 terkait
urgensi aktualisasi kerukunan dalam perbedaan
D. Kegunaan Penulisan
Hasil
penulisan ini diharapkan dapat digunakan untuk:
1. Menambah horizon pengetahun tentang metodologi
penafsiran Al-Qur’an
2. Sebagai tambahan khasanah ilmu pengetahuan pada
umumnya
3. Hasil penulisan ini dapat bermanfaat dalam
mengimplementasikan kerukunan dalam perbedaan di tengah kehidupan masyarakat
E. Metode yang Digunakan
Metode
yang dalam bahasa Yunani disebut methodos mempunyai arti jalan atau cara.[7]
Dalam bahasa Arab dapat diucapkan dengan kata thariiqat ataupun manhaj,
dan dalam bahasa Inggris ditulis dengan kata method. Dalam bahasa
Indonesia kata tersebut dapat berarti “cara yang teratur dan terpikir baik-baik
untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang
bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan.[8]
Pembahasan makalah
ini metode dalam mengumpulkan data yang diambil dipusatkan kepada perhatian
penelitian kepustakaan, dengan demikian data sepenuhnya diambil dari hasil literer.
Metode yang digunakan dalam menafsirkan ayat dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah/5 : 48 penulis menggunakan metode maudhu’i
atau metode tematik. Dengan demikian dalam membahas ayat-ayat Al-Quran
adalah sesuai dengan tema atau judul yang telah di tetapkan.[9]
Kemudian semua ayat yang berkaitan dihimpun dikaji secara mendalam dan tuntas dari
berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab al-nuzul, kosa kata dan
sebagainya. Semuanya dijelaskan secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh
dalil-dalil atau fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah; baik
argumen itu berasal dari Al-Qur’an dan Hadits, maupun pemikiran rasional.[10]
Meskipun penulis dalam menafsirkan
Al-Qur’an menggunakan metode tematik akan tetapi dalam penafsiran tersebut
tentu tidak terlepas dari aspek kebahasaannya (linguistic), makna
kata-kata dan konteksnya agar hasil interpretasi dalam menafsirkan sebuah ayat Al-Qur’an
bersifat obyektif.[11]
Secara
rinci langkah-langkah yang hendak ditempuh untuk menerapkan metode maudhu’i
diperlukan langkah-langkah tersebut adalah:[12]
1. Menetapkan masalah yang akan dibahas atau topik
2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan
masalah tersebut
3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa
turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya
4. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam
surahnya masing-masing
5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang
sempurna (out-line)
6. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang
relevan dengan pokok bahasan
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara
keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang
sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang khas (khusus),
mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga
kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau pemaksaan.
F. Pembahasan
1. Pengertian Metodologi Tafsir
Sebelum penulis
berbicara tentang metodologi tafsir al-Qur’an, mungkin akan lebih jelas jika
dicari dulu tentang pengertian metode. Apakah ada perbedaan antara metode
dengan bentuk, dan atau dengan corak?.
Metode
adalah : Cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud.[13]
Dalam Ensiklopedi Indonesia Metoda adalah : cara melakukan sesuatu ata cara
mencapai pengetahuan.[14]
Bentuk adalah : Sistem, susunan, pendekatan.[15]
Dalam hal ini berarti berbicara menganai hubungan tafsir al-Qur’an dengan media
atau alat yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an. Media untuk memperoleh
pengetahuan dan pemahaman teks-teks atas nash al-Qur’an dapat berupa; nash
(al-Qur’an dan al-Hadits), akal, ataupun intuisi.[16]
Sedangkan Corak adalah : Paham atau macam.[17]
Dalam hal ini corak penafsiran adalah sekitar hubungan tafsir al-Qur’an dengan
kecenderungan yang dimiliki mufasir yang bersangkutan.
Dari
pengertian metode yang umum itu dapat digunakan pada berbagai obyek, baik yang
berupa pemikiran, penalaran maupun terkait dengan pekerjaan yang bersifat
fisik. Dapat pula dikatakan bahwa metode merupakan sarana yang penting dalam
mencapai tujuan yang diharapkan. Terkait dengan hal tersebut persoalan studi
tafsir tidak akan dapat terlepas dari metode, karena didalamnya akan memberikan
cara teratur berdasarkan pemikiran yang terbaik guna mencari pemahaman yang
sebenarnya yang telah dimaksudkan oleh Allah SWT yang tertuang dalam ayat-ayat
Al-Qur’an yang telah diberikan kepada Nabi Muhammad SAW.
Metode
tafsir memiliki berbagai perangkat kaidah dan aturan-aturan yang harus
diterapkan ketika menafsirkan Al-Qur’an. Ketika seseorang menafsirkan Al-Qur’an
tanpa menggunakan metode kemungkinan besar dalam menafsirkan Al-Qur’an akan
keliru. Tafsir yang demikian dapat dikatakan tafsir bi al-ra’yi al-mahdh (penafsiran
yang hanya berdasarkan pada akalnya saja) yang tentu dilarang oleh Nabi SAW dan
penafsiran yang demikian adalah haram.[18]
Dengan
demikian metode tafsir merupakan kerangka berpijak dan kaidah yang harus
dilakukan oleh para penafsir yang tidak terlepas dari seni atau teknik yang
telah ada di dalam metode[19].
Sedangkan metodologi tafsir adalah pembahasan ilmiah tentang metode-metode penafsiran
Al-Qur’an.
2. Bentuk dan Metode dalam Penafsiran Al-Qur’an
a. Bentuk Penafsiran Al-Qur’an
1). Bentuk
Riwayat (Al-Ma’tsur)
Penafsiran
yang berbentuk riwayat atau apa yang sering disebut dengan “tafsir bi
al-ma’tsur” adalah bentuk penafsiran yang paling tua dalam sejarah kehadiran
tafsir dalam khazanah intelektual Islam. Tafsir ini sampai sekarang masih
terpakai dan dapat di jumpai dalam kitab-kitab tafsir seumpama tafsir al-Thabari,
Tafsir ibn Katsir, dan lain-lain.
Dalam
tradisi studi Al-Qur’an klasik, riwayat merupakan sumber penting di dalam
pemahaman teks Al-Qur’an. Sebab, Nabi Muhammad SAW. diyakini sebagai penafsir
pertama terhadap Al-Qur’an. Dalam konteks ini, muncul istilah “metode tafsir
riwayat”. Pengertian metode riwayat, dalam sejarah hermeneutik Al-Qur’an
klasik, merupakan suatu proses penafsiran Al-Qur’an yang menggunakan data
riwayat dari Nabi SAW. dan atau sahabat, sebagai variabel penting dalam proses
penafsiran Al-Qur’an. Model metode tafsir ini adalah menjelaskan suatu ayat
sebagaimana dijelaskan oleh Nabi dan atau para sahabat.
Para
ulama sendiri tidak ada kesepahaman tentang batasan metode tafsir riwayat.
Al-Zarqani, misalnya, membatasi dengan mendefinisikan sebagai tafsir yang
diberikan oleh ayat Al-Qur’an. Sunnah Nabi, dan para sahabat.[20]
Ulama lain, seperti Al-Dzahabi, memasukkan tafsir tabi’in dalam kerangka tafsir
riwayat, meskipun mereka tidak menerima tafsir secara langsung ari Nabi
Muhammad SAW. Tapi, nyatanya kitab-kitab tafsir yang selama ini diklaim sebagai
tafsir yang menggunakan metode riwayat, memuat penafsiran mereka, seperti
Tafsir Al-Thabari.[21]
Sedang Al-Shabuni memberikan pengertian lain tentang tafsir riwayat. Menurutnya
tafsir riwayat adalah model tafsir yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah dan
atau perkataan sahabat.[22]
Definisi ini nampaknya lebih terfokus pada material tafsir dan bukan pada
metodenya. Ulamat Syi’ah berpandangan bahwa tafsir riwayat adalah tafsir yang
dinukil dari Nabi dan para Imam Ahl-bayt. Hal-hal yang dikutib dari para
sahabat dan tabi’in, menurut mereka tidak dianggap sebagai hujjah.[23]
Dari
segi material, menafsirkan Al-Qur’an memang bisa dilakukan dengan menafsirkan
antarayat, ayat dengan hadits Nabi, dan atau perkataan sahabat. Namun secara
metodologis bila kita menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain dan atau
dengan hadits, tetapi proses metodologisnya itu bukan bersumber dari penafsiran
yang dilakukan Nabi, tentu semua itu sepenuhnya merupakan hasil intelektualisasi
penafsir. Oleh karena itu, meskipun data materialnya dari ayat dan atau hadits
Nabi dalam menafsirkan Al-Qur’an, tentu ini secara metodologis tidak bisa
sepenuhnya disebut sebagai metode tafsir riwayat.
Jadi,
terlepas dari Perbedaan definisi yang selama ini diberikan para ulama ilmu
tafsir tentang tafsir riwayat di atas, metode riwayat di sini bisa
didefinisikan sebagai metode penafsiran yang data materialnya “mengacu pada
hasil penafsiran Nabi Muhammad SAW. yang ditarik dari riwayat pernyataan Nabi
dan atau dalam bentuk asbab al-nuzul sebagai satu-satunya sember data
otoritatif”. Sebagai salah satu metode, model metode riwayat dalam pengertian
yang terakhir ini tentu statis, karena hanya tergantung pada data riwayat
penafsiran Nabi. Dan juga harus diketahui bahwa tidak setiap ayat mempunyai
asbab al-nuzul.[24]
2). Bentuk
Pemikiran (Al-Ra’y)
Setelah
berakhir masa salaf sekitar abad ke-3 H, dan peradaban Islam semakin maju dan
berkembang, maka lahirlah berbagai mazhab dan aliran di kalangan umat.
Masing-masing golongan berusaha menyakinkan pengikutnya dalam mengembangkan
paham mereka. Untuk mencapai maksud itu, mereka mencari ayat-ayat Al-Qur’an dan
Hadits-Hadits Nabi, lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka
anut. Ketika inilah berkembangnya bentuk penafsiran al-ra’y (tafsir melalui
pemikiran atau ijtihad). Melihat berkembang pesatnya tafsir bi al-ra’y, maka
tepat apa yang dikatakan Manna’ al-Qaththan bahwa tafsir bi al-ra’y mengalahkan
perkembangan tafsir bi al-ma’tsur.
Meskipun
tafsir bi al-ra’y berkembang dengan
pesat, namun dalam penerimaannya para ulama terbagi menadi dua : ada yang
membolehkan ada pula yang melarangnya. Tapi setelah diteliti, ternyata kedua
pendapat yang bertentangan itu hanya bersifat lafzhi (redaksional). Maksudnya
kedua belah pihak sama-sama mencela penafsiran berdasarkan ra’y (pemikiran)
semata tanpa mengindahkan kaedah-kaedah dan kriteria yang berlaku. Sebaliknya,
keduannya sepakat membolehkan penafsiran Al-Qur’an dengan sunnah Rasul serta
kaedah-kaedah yang mu;tabarah (diakui sah secara bersama).[25]
Dengan
demikian jelas bahwa secara garis besar perkembangan tafsir sejak dulu sampai
sekarang adalah melalui dua bentuk tersebut di atas, yaitu bi al-ma’tsur
(melalui riwayat) dan bi al-ra’y
(melalui pemikiran atau ijtihad).
b. Metode-metode dalam Penafsiran Al-Qur’an
Jika
ditelusuri perkembangan tafsir Al-Qur’an sejak dulu sampai sekarang, maka akan
ditemukan bahwa dalam garis besarnya penafsiran Al-Qur’an ini dilakukan dalam
empat cara (metode), sebagaimana pandangan Al-Farmawi, yaitu : ijmaliy
(global), tahliliy (analistis), muqaran (perbandingan), dan mawdhu’iy (tematik).[26]
Untuk lebih jelasnya di bawah ini diuraikan keempat metode tafsir tersebut
secara rinci, yaitu :[27]
1). Metode Ijmali (Global)
Yang
dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah suatu metoda tafsir
yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global.[28]
Pengertian tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi
mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca.
Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam mushhaf. Di samping
itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa AL-Qur’an sehingga
pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal
yang didengarnya itu tafsirnya.[29]
Kitab
tafsir yang tergolong dalam metode ijmali (global) antara lain : Kitab Tafsir
Al-Qur’an al-Karim karangan Muhammad Farid Wajdi, al-Tafsir al-Wasith terbitan
Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyat, dan Tafsir al-Jalalain, serta Taj al-Tafasir
karangan Muhammad ‘Utsman al-Mirghani.
Ciri-ciri
Metode Ijmali dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan
Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola
serupa ini tak jauh berbeda dengan metode alalitis, namun uraian di dalam
Metode Analitis lebih rinci daripada di dalam metode global sehingga mufasir
lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam
metode global, tidak ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa
itu. Itulah sebabnya kitab-kitab Tafsir Ijmali seperti disebutkan di atas tidak
memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum sehingga seakan-akan
kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca tersebut adalah tafsirnya;
namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi
tidak sampai pada wilayah tafsir analitis.
2). Metode
Tahliliy (Analisis)
Yang
dimaksud dengan Metode Tahliliy (Analisis) ialah menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat
yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya,
sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat
tersebut.
Kalau
kita lihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang terdapat dalam
tafsir tahliliy yang jumlah sangat banyak, dapat dikemukakan bahwa paling tidak
ada tujuh bentuk tafsir, yaitu:[30]
Al-Tafsir bi al-Ma’tsur, Al-Tafsir bi al-Ra’yi, Al-Tafsir al-Fiqhi, Al-Tafsir
al-Shufi, At-Tafsir al-Ilmi, dan Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i.
Ciri-ciri
metode tahlili adalah pola penafsiran yang diterapkan para penafsir bahwa
mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an
secara komprehenshif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur, maupun
al-ra’y, sebagaimana. Dalam penafsiran tersebut, Al-Qur’an ditafsirkan ayat
demi ayat dan surat demi surat secara berurutan, serta tak ketinggalan
menerangkan asbab al-nuzul dari ayat-ayat yang ditafsirkan.
3). Metode Muqarin (Komparatif)
Pengertian
metode muqarin (komparatif) dapat dirangkum sebagai berikut :
a). Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an
yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan
atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama;
b). Membandingkan
ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat
bertentangan;
c). Membandingkan
berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Jadi dilihat dari pengertian tersebut dapat dikelompokkan
3 objek kajian tafsir, yaitu:[31]
(1). Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat
Al-Qur’an yang lain
(2). Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits
(3). Membandingkan pendapat para mufasir
Ciri-ciri
Metode Muqarin adalah adanya perbandingan sebagai ciri utama bagi Metode
Komparatif. Disini letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini
dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam
memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah pendapat para
ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu jika suatu
penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan
oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tidak dapat disebut “metode
muqarrin”.
4). Metode Mawdhu’iy (Tematik)
Yang
dimaksud dengan metode maudhu’i ialah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan
tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun.
Kemudian dikahi secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait
dengannya seperti asbab al-nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan
secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah; baik argumen itu berasal dari Al-Qur’an
dan Hadits, maupun pemikiran rasional.
Yang
menjadi ciri utama metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topik
pembahasan; sehingga tidak salah bila di katakan bahwa metode ini juga disebut
metode “topikal”. Jadi mufasir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada si
tengah masyarakat atau berasal dari Al-Qur’an itu sendiri, ataupun dari yang
lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan
menyeluruh dari berbagai aspek, sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang
termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Artinya penafsiran yang
diberikan tak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak
terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan belaka
(al-Ra’y al-Mahdh).
Adapun langkah-langkah
yang hendak ditempuh untuk menerapkan metode madhu’i adalah:[32]
Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik), Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan
dengan masalah tersebut, menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya,
disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya, memahami korelasi ayat-ayat
tersebut dalam surahnya masing-masing, menyusun pembahasan dalam kerangka yang
sempurna (out-line), melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan
dengan pokok bahasan dan mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan
dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau
mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang khas (khusus), mutlak dan
muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya
bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau pemaksaan.
3.
Tafsir Al-Qur’an Surat al-Maidah/5 : 48 (Perspektif Al- Qur’an Surat Al-Maidah/5
: 48).
a. Teks Ayat-ayat tentang Pluralitas[33]
١. وأنزلنا
إليك الكتاب بالحق مصدقا لما بين يديه من الكتاب ومهيمنا عليه فاحكم بينهم بما
أنزل الله ولا تتبع أهواءهم عما جاءك من الحق لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا ولو شاء
الله لجعلكم أمة واحدة ولكن ليبلوكم في ما آتاكم فاستبقوا الخيرات إلى الله مرجعكم
جميعا فينبئكم بما كنتم فيه تختلفون
ِ Artinya: Dan kami Telah turunkan kepadamu
Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu
kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian[421] terhadap
kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah
turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu[422],
kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya
kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah
kamu perselisihkan itu. (QS. Al-Maidah/5:48).
[421]
Maksudnya: Al Quran adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya
ayat-ayat yang diturunkan dalam kitab-kitab sebelumnya.
[422]
Maksudnya: umat nabi Muhammad s.a.w. dan umat-umat yang sebelumnya.
٢. ولو شاء
ربك لجعل الناس أمة واحدة ولا يزالون مختلفين
Artinya:
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu,
tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. (QS. Hud/11:118)
٣. يا أيها
الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله
أتقاكم إن الله عليم خبير
Artinya:
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
(QS. Al-Hujurat/49: 13).
Asbabunnuzul:
Ibnu Abi Mulaikah ra. Menuturkan, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang
yang ketika bilal ra. Naik ke atas Ka’bah untuk mengumandangkan adzan setelah
pembebasan kota Mekah mengecam Bilal ra., “Bagaimana mungkin budak hitam ini
mengumandangkan adzan di atas Ka’bah?”, sebagian yang lain berkata;”apakah
Allah akan murka jika ia yang bukan mengumandangkan adzan?”.[34]
٤. وقالت
اليهود ليست النصارى على شيء وقالت النصارى ليست اليهود على شيء وهم يتلون الكتاب
كذلك قال الذين لا يعلمون مثل قولهم فالله يحكم بينهم يوم القيامة فيما كانوا فيه
يختلفون
Artinya:
Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Maka Allah
mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama
mereka Kitab yang benar, untuk memberi Keputusan di antara manusia tentang
perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang Kitab itu
melainkan orang yang Telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah
datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, Karena dengki antara
mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada
kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan
Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang
lurus. (QS. Al-Baqarah/2: 113)
Asbabnunnuzul:
Ibnu Abbas ra. Berkata bahwa suatu saat kaum Nashrani dari Najran dan para
Rahib Yahudi berdebat di hadapan Rasulullah SAW. Seorang Nasrani Rafi bin
Huraimalah , berkata: “kamu tidak berada pada jalan yang benar, karena kafir
tehadap Nabi Isa dan kitab Injilnya.” Kemudian orang Yahudi membantah, “Kamu
pun tidak berada pada jalan yang benar, karena menentang kenabian Musa dan
kitab Taurat.” Lalu, Allah SWT menjawab perdebatan itu melalui turunnya ayat
ini.[35]
b.
Penafsirat Ayat
Berdasarkan firman Allah SWT di atas dapat
dikatakan bahwa pluralitas merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri.
Adanya perbedaan, kemajemukan di tengah kehidupan manusia merupakan keputusan
dan kehendak Allah SWT, karena bias jadi dengan kemajemukan itulah manusia
dengan berbagai Perbedaannya akan mendapat ujian dari Allah SWT.
At-Tabari menafsirkan ayat tersebut dengan
menyatakan bahwa jika saja Allah SWT menghendaki, sangatlah mudah Ia menjadikan
umat manusia menjadi satu syariat, akan tetapi Allah menjadikannya mereka
berbeda dalam rangka untuk memberikan ujian kepada umatnya, sehingga akan dapat
diketahui mana umat yang tetap mengabdi kepada-Nya dan mana umat yang ingkar
kepada-Nya.[36]
Di dalam ayat tersebut juga ada anjuran kepada
seluruh manusia di seantero jagad raya ini dan intern agama ataupun antar agama
untuk senantiasa mengadakan kompetisi dalam kebajikan (fastabiqu al khairaat),
bukan berkompetisi dalam hal kejahatan ataupun kekerasan. Demikian halnya dalam
hadits dikatakan bahwa kemajemukan dan perbedaan yang terjadi di kalangan umat
merupakan suatu rahmah[37] (ikhtilaafu
ummati rahmah). Meskipun seringkali statemen tersebut dibawa dalam konteks
perbedaan hokum, akan tetapi bila diselaraskan dengan firman Allah di atas akan
lebih tegas bahwa kemajemukan, perbedaan dan pluralitas adalah rahmah-Nya dan
sudah menjadi sunatullah.
Pluralitas dapat kita lihat diberbagai
penciptaan, baik itu manusia, binatang, hewan, tumbuhan, hal yang nampak
ataupun hal yang tidak Nampak (ghaib). Perbedaan juga muncul dalam
persoalan ide, pola pikir, argumentasi, doktrin ataupun ras, jenis kelamin,
bahasa, suku, bangsa dan agama, sebagaimana telah dinyatakan pada ayat di atas
(QS. Al Hujurat: 13). Adapun karena keterbatasan penulis akan memaparkan
berbagai perbedaan/ berdasarkan ayat diatas yaitu; Perbedaan Individu, Perbedaan
suku bangsa, Perbedaan bahasa, Perbedaan budaya, Perbedaan Negara dan Perbedaan
agama.
1)
Perbedaan Individu
Berdasarkan QS. Al-Hujurat: 13 tersirat bahwa
asal muasal manusia adalah sama, yang terlahir dari percampuran dua manusia
yang berbeda yaitu laki-laki dan perempuan. Namun demikian ia memiliki ciri dan
kekhasan yang berbeda, sebagai contoh secara dari bentuk tubuh maupun sikap
tidak ada manusia yang sama. Demikian halnya dalam hal pemikiran, sudut
pandang, penilaian dan gagasan mempunyai banyak perbedaan.
Ada beberapa pendekatan dalam mengetahui
seberapa tinggi kualitas kepribadian manusia. Pertama, dapat dilakukan
dengan pendekatan Qur’ani dan Nabawi. Artinya bahwa kualitas jiwa manusia akan
dapat dipahami melalui kitab Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW. Dalam pendekatan ini
yang dibahas berkisar tentang sifat universal manusia, sebab dan akibat dan
karakter jiwa.[38]
Kedua, melalui pendekatan Falsafi maksudnya persoalan jiwa dibahas dalam
pandangan para filsuf. Sebagai missal ada pada pemikirannya Masykawaih dan Abu
Bakar ar Razi, Ibn Rusyd dan Abu Barakat al Baghdadi.[39]
Ketiga, dengan menggunakan pendekatan Sufistik, artinya penjelasan jiwa
didasarkan kepada para ahli tasawuf.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan
bahwa Allah SWT telah menunjukkan kepada umat manusia sebagai makhluk individu
mempunyai tugas social untuk saling mengenal terhadap individu yang lain. Dapat
pula dikatakan bahwa terciptanya manusia adalah tidak sia-sia, karena
penciptaan manusia telah memiliki tugas dan tanggung jawab yang telah
dibebankan.[40] Maka sudah menjadi
kewajiban sebagai manusia untuk bertanggung jawab terhadap diri, masyarakat dan
Allah SWT sebagai Pencipta semua itu.
2)
Perbedaan Suku Bangsa
Suku bangsa dan budaya yang beraneka ragam
adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari. Sebagaimana telah
dijelaskan di QS. Al Hujurat: 13 di atas, Allah SWT telah menyebut شعوباقبا ئل ,yang
berarti bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Di dalamnya tentu meliputi banyak
suku bangsa, bahasa dan budaya. Dari Perbedaan ini tentu memiliki tujuan dan
asal yang sama yakni berupa kemuliaan di sisi Allah SWT.[41]
Dengan
adanya perbedaan inilah kemudian manusia supaya لتعارفوا , atau saling
mengenal diantara sesama dengan penuh kesadaran bahwa adanya kemajemukan itu
sudah menjadi sunatullah. Diciptakannya perbedaan bukanlah untuk membuat
disharmoni antara sesama, akan tetapi merupakan hal yang harus diperjuangkan
untuk terciptanya kedamaian bersama.[42]
Dari
penjelasan di atas, jelaslah bahwasanya Islam sangat menjunjung tinggi
kedamaian dan kebersamaan meski hidup di tenngah perbedaan. Islam juga
menentang terhadap adanya diskriminasi dan rasisme akan tetapi memberikan
penghormtan yang tinggi terhadap persamaan hak antara Muslim maupun dengan
non-Muslim. Sebagaimana dicontohkan pula oleh Rasulullah ketika memerdekakan
Zaid ibn Harits yang tidak lain adalah seorang budak yang kemudian diangkat
sebagai anaknya Nabi SAW.[43]
3)
Perbedaan Bahasa
Perbedaan bahasa merupakan salah satu bukti
kekuasaan Allah SWT, sebagaimana difirmankan dalam QS. Ar-Rum/30: 22 sebagai
berikut:
ومن آياته
خلق السماوات والأرض واختلاف ألسنتكم وألوانكم إن في ذلك لآيات للعالمين
Artinya:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan
berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang Mengetahui.
Kata ألسنتكمpada
ayat di atas adalah bentuk jamak dari kata lisan yang berarti lidah, sehingga
dapat dimaknai sebagai bahasa atau suara. Dengan demikian jelas bahwa ayat
tersebut memberikan penegasan bahwa adanya perbedaan bahasa dan juga warna
kulit merupakan suatu yang niscaya, dan dengan perbedaan itu menjadikan antar
manusia saling berkomunikasi menggunakan bahasa yang sudah menjadi
kebiasaannya.
Adanya
perbedaan bahasa yang ada di kaum muslimin telah terjadi sejak Islam turun di
muka bumi ini, meskipun bahasa Arab adalah bahasa induk ajaran Islam akan
tetapi tidak menjadi persoalan bagi mayoritas muslim yang tidak menggunakan
bahasa Arab[44]
dalam menjalankan dakwah untuk membumikan nilai-nilai ajaran Islam seperti;
mengarang syair keislaman, menulis cerita atau sejarah para Nabi ataupun Imam,
mengkaji Al-Qur’an dan mempelajari Hukum serta Etika Islam.[45]
Sejarah
memang telah membuktikan bahwa bahasa Arab merupakan satu-satunya yang
digunakan Muslim sejagad untuk mempelajari Al-Qur’an. Namun demikian Islam
menolak fanatisme terhadap bahasa apalagi ketika semua itu menjadikan sebuah
perpecahan di kalangan umat. Ada pengecualian memang terkait dengan wajibnya
penggunaan bahasa Arab bagi kaum muslim, yaitu untuk ibadah yang bersifat
vertical tidak bias lagi ditolerir, akan tetapi untuk ibadah yang bersifat
horizontal itu bukan sebuah persoalan yang berarti.
4)
Perbedaan Budaya
Kehadiran Islam di tengah kehidupan masyarakat
memiliki kultur dan budaya tersendiri. Adanya interaksi yang harmonis antara Islam
dan Budaya justru akan memberikan ekspresi ke-Islaman yang unik dan dinamis.
Islam di Indonesia misalnya; karena masyarakat Islam di Indonesia terdiri dari
berbagai kultur dan budaya maka tercipta Islam Indonesia yang mempunyai banyak
corak dan tradisi kultural dengan ekspresi dan cara yang memiliki banyak
perbedaan.[46] Dengan adanya tradisi
local keIslaman tersebut berpengaruh terhadap produk hokum yang dikeluarkan
oleh ulama yang ada pada wilayah tersebut.[47]
Tradisi local yang berpadu dengan nilai-nilai
Islam justru akan memberikan kemudahan untuk tersebarnya nilai-nilai Islam di
tengah masyarakat. Perkembangan Islam di Jawa adalah bukti akulturasi budaya
dengan nilai-nilai Islam yang pernah dilakukan oleh Wali Songo sehingga Islam
dapat berkembang dengan pesat di Jawa dan banhkan Indonesia sampai sekarang
ini.
5)
Perbedaan Negara
Berdasarkan Al-Qur’an umat Islam diwajibkan
untuk mentaati terhadap perintah-perintah Allah SWT, para Rasul-Nya dan
pemegang kekuasaan (ulil Amri), sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam
QS. An-Nisa/4: 59 berikut:
يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا
الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم
تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Isrtilah
اولى الامر
ketika dilihat dalam literature tafsir pada awalnya tidak membahas
persoalan politik[48],
baru kemudian dimaknai sebagai amir atau umara.[49]
Ada banyak ayat al Qur’an yang memberikan gambaran bahwa Rasulullah SAW dalam
mengembangkan syiarnya dan kepemimpinan beliau ketika berperang memiliki peran
yang sangat dominan sebagai pimpinan, sehingga beliau ada pada garda terdepan
ketika mengadakan perjanjian baik antara muslim dengan non muslim ataupun
Yahudi dan Nasrani.
Setelah
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, kemudian dilanjutkan oleh khulafaur rasyidin.
Untuk selanjutnya diteruskan dengan kepemimpinan khilafah terakhir Turki
Usmani yang dipimpin oleh Sultan Abu Hamid II, yang menjadi system kerajaan. Di
Indonesia awal mula masuknya dan perkembangan Islam juga tidak terlepas dengan
system kerajaan seperti adanya kerajaan Samudra Pasai, kerajaan Perlak,
kerajaan Demak, Kutai, Bone dan lain sebagainya.[50]
Dalam
kontek kehidupan sekarang mengingat begitu banyak system kepemimpinan ataupun
Negara yang ada di jagad raya, agar tercipta sussana kehidupan yang aman
diantara Negara-negara yang ada didunia, hubungan yang harmonis dan kerjasama
positif tentu menjadi baian yang tidak terpisahkan sebagai bagian ikhtiar untuk
mewujudkan kehidupan dunia yang tertib dan aman.
6)
Perbedaan Agama
Perbedaan yang terjadi di tengah masyarakat
juga terjadi dalam perbedaan agama, di
dalam Al-Qur’an juga telah di informasikan tentang perbedaan agama itu.[51]
At Thabari memberikan penafsiran pada ayat tersebut yang pada prinsipnya bahwa
sebenarnya agama itu adalah satu yakni semua adalah memberikan ajaran kepada
umatnya tentang tauhid dan keikhlasan, yang membedakan hanyalah persoalan syariat.[52]
Rasulullah SAW telah memberikan keteladanan
yang nyata dalam menyikapi perbedaan beragama antara muslim dengan non muslim.
Sebagai contoh ketika beliau berjanji untuk melindungi umat Kristiani ketika
beliau di datangi oleh delegasi Monastri St. Catherine sekitar Tahun 628,
kemudian beliau memberikan Charter of Right kepada mereka.[53]
Perbedaan terjadi bukan saja dalam persoalan
agama, di dalam Islam sendiri telah terjadi banyak perbedaan cara pandang sejak
wafatnya Rasulullah SAW. Adanya berbagai madhab fiqh, ilmu kalam, tasawuf
maupun filsafat Islam, semua itu adalah bukti adanya keragaman yang terjadi di
internal agama Islam. Dan muncul begitu banyaknya berbagai organisasi keagamaan
pada saat sekarang ini juga semakin menambah daftar perbedaan yang ada dalam
agama Islam.
Berdasarkan uraian di atas, mengingat begitu
banyaknya perbedaan termasuk di dalamnya perbedaan agama ataupun
pemahaman-pemahaman di dalam agama itu sendiri, maka sangat diperlukan revolusi
cara pandang yang benar ketika melihat perbedaan terhadap orang lain ataupun
kelompok yang lain yang berbeda.
Wujudkan kerukunan dengan penuh kesadaran bahwa
adanya perbedaan dalam keagamaan adalah sesuatu yang normal. Dan al Qur’an
telah memberikan solusi terhadap persoalan ketika menghadapi perbedaan,
sebagaimana di informasikan pada ayat berikut:[54]
b)
QS. An- Nisa/4 : 59, yang artinya: … jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya)...
c)
QS. Al-Maidah/5: 8, yang artinya: …dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil...
G. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Metodologi tafsir adalah pembahasan ilmiah
tentang metode-metode penafsiran Al-Qur’an.
2. Bentuk penafsiran Al-Qur’an ada dua yaitu
bentuk riwayat (Al-Ma’tsur) dan bentuk pemikiran (Al-Ra’y). Sedangkan Metode-metode dalam Penafsiran Al-Qur’an ada empat metode yaitu; Metode
Ijmali (Global), Metode Tahliliy (Analisis), Metode Muqarin (Komparatif) dan Metode
Mawdhu’iy (Tematik)
3. Pluralitas merupakan kenyataan yang tidak dapat
dihindari, dari sekian banyak perbedaan itu diantaranya; Perbedaan Individu, Perbedaan
Suku Bangsa, Perbedaan Bahasa, Perbedaan Budaya, Perbedaan Negara dan Perbedaan
Agama. Dalam menyikapi perbedaan itu diperlukan kedewasaan cara pandang bahwa
perbedaan sudah menjadi keputusan Ilahiyah (sunatullah) sehingga
terjalin keharmonisan dan kerukunan meski dalam perbedaan bukan sebaliknya justru
terjadi disharmoni di tengah perbedaan.
DAFTAR PUSTAKA
‘Abd al-Hayy Al Farmawi, Al-Bidayah fi al Tafsir
al Maudhu’i, Mathba’at al Hadharat al ‘Arabiyah, 1977.
Abdurrahman
Ibnu Abi Bakr, Jalaludin as-Suyuti, Darul Mantsuri fi Ta’wili bil Ma’tsur,
(http://www.atafsir.com:maktabah syamilah).
Abu
Bakar ar-Razi dalam at-Thibb ar-Ruhani.
Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Per Kata
Dilengkapi Azbabun Nuzul dan Terjemah, Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2009.
Ali Al-Awsi, Al-Thabathaba’i wa
Manhajuh fi Tafsirih Al-Mizan, Taheran: Al-Jumhuriyyah Al-Islamiyyah fi Iran,
1975
Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa
Al-Mufassirun, Kairo: Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1961.
Al-Nawawi,
syarh al-Nawawi ‘ala muslim, jilid 6.
Al
Thabari, Tafsir Al Thabari, Jilid 10, h. 389. Diambil dari al Maktabah
Syamilah, al-Ishdar al-Tsani.
Al
Thabari, Tafsir al Thabari, jilid 10, h. 385, diambil dari al Maktabah
Syamilah , al Ishdar al Tsani.
Bard Al-Din Muhammad Abdullah
al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Jilid II, Dar al-Fikr,
Beirut, 1988.
Bernard
H.M. Nieke, Nusantara Sejarah Indonesia, Jakarta: KPG (Keputusan Populer
Gramedia) 2008.
Bustami A. Gani dan Chatibul Umam (penyunting), Beberapa
Aspek Ilmiah tentang Al-Qur’an,
Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an, 1986.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,1989.
Fuad Hasan dan Koentjaraningrat,
Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, dalam Koentjaraningrat (ed.),
metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1977.
Hassan Shadily, Ensiklopedi
Indonesia,
Jakarta:
PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve, t.t.
HR. Ibnu
Abi Hatim, Lihat Qurthubi: 9/6390 dan ad-Dumul Mantsur: 7/97.
HR. Ibnu
Abi Hatim, lihat Ibnu Katsir: 1/220 dan Qurthubi: 1/570.
Ibnu
Abidin (Madzhab Hanafi), Hasyiyah Rad al-Mukhtar, jilid 1.
Ibnu
Jarir al-Thabari, Jami al Bayan fi Ta’wil al Qur’an, juz xx,
Saudi Arabia: Majna al Malik Fahd al Syarif, 1420/2000.
Ibnu
Qayim al Jawziah, ar-Ruh, Beirut: Dar al Kitab al Arab. 1406/1986.
Ibn Taimiyah, Muqaddimah fi Ushul
al-Tafsir, Kuwait: Dar al Qur’an al Karim, 1971 M./1391 H.
Inggrid
Mattson, The Story of the Qur’an : its History and Pleace in Muslim Life,
Oxford : Blackwell Publishing, 2008.
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir
Indonesia (dari Hermeneutika hingga Ideologi), Jakarta: Teraju, 2003.
Miskawyh,
Tahdzib al-Akhlaq, Mauqi al-Waraq, tt. juz I.
M.A
Mugfedar Khan, “Prophet Muhammad’s Promise to Christians” di http://newsweek.washingtonpost.com/.
Moh. Roqib, Mewujudkan Kerukunan dalam Perbedaan,
(Buletin Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Banyumas), edisi
perdana nomor 1 Mei-Juni 2011.
Mulyanto Sumardi, Pengajaran Bahasa Asing (sebuah Tinjauan Metodologi),
Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Muhammad Ali Al-Shabuni, A-Tibyan.
Muhammad ‘Abd Al-Azhim Al-Zarqani, Manahil
Al-Irfan.
Mukhtasar
Sya’ab al Iman, Jilid
1, h.102
Mujahid,
Tafsir, 1, 163.
Nasharuddin Baidan, Rekonstruksi
Ilmu Tafsir, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2000.
___________________, Metodologi Penafsiran
Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000.
Nurcholis Madjid, Islam, Kemodrnan, dan
Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1995.
Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1986.
Quraish Shihab. dkk., Sejarah dan
Ulum al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
Rindang, Menyambut Ramadhan di Sela Krisis Toleransi,
No. 12 Tahun XXXVII Sya’ban 1433 H/Juli 2012 M.
Sahih
Muslim, Fadhail al-Sahaba, 62:2425, Daarul Mughni, h. 1320.
Sahiron
Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Yogyakarta:
Pesantren Nawesea Press, 2010.
Tim Penyusun, Islam Rahmatan Lil“alamin, Jakarta:
Kementerian Agama Republik Indonesia; Direktorat Jenderal Pendidikan Islam;
Direktorat Pendidikan Agama Islam, 2011.
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1988.
[1] Makalah
disusun oleh Dudiyono, S. Ag., untuk memenuhi salah satu tugas akhir semester
pada mata kuliah Filsafat Ilmu (Filsafat dan Teori Penafsiran) Dosen Pengampu
Dr.Phil. Sohiron Syamsuddin, M.A., makalah tersebut berdasarkan pada tafsir
Al-Qur’an Surat Al-Maidah/5 : 48.
[2] Tim
Penyusun, Islam Rahmatan Lil“alamin, cet. Ke-2 (Jakarta: Kementerian
Agama Republik Indonesia; Direktorat Jenderal Pendidikan Islam; Direktorat Pendidikan
Agama Islam, 2011), h. 87.
[3]
Kemajemukan dapat juga disebut denga pluralitas bukan saja dalam persoalan
perbedaan agama, akan tetapi perbedaan ras, suku, bangsa, warna kulit, jenis
kelamin dan sebagainya.
[4] Moh.
Roqib, Mewujudkan Kerukunan dalam Perbedaan, (Buletin Forum Komunikasi
Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Banyumas), edisi perdana nomor 1 Mei-Juni 2011.
[5]
Rindang, Menyambut Ramadhan di Sela Krisis Toleransi, No. 12 Tahun
XXXVII Sya’ban 1433 H/Juli 2012 M., h. 5-7.
[6]
Nurcholis Madjid, Islam, Kemodrnan, dan Keindonesiaan, cet. Ke-7 (Bandung:
Mizan, 1995), h. 174-175.
[7] Fuad
Hasan dan Koentjaraningrat, Beberapa
Asas Metodologi Ilmiah, dalam Koentjaraningrat (ed.), metode-metode
Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1977), h. 16.
[8] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
cet. Ke-1 (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 580-581; Poerwadaminta, Kamus
Umum Bahasa Indonesia, cet. Ke-9, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), h. 649.
[9]
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, cet. Ke-2
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000), h. 151.
[10] ‘Abd
al-Hayy Al Farmawi, Al-Bidayah fi al Tafsir al Maudhu’i, cet. Ke-2 (
Mathba’at al Hadharat al ‘Arabiyah, 1977) h. 24.; dapat juga dilihat di Bustami
A. Gani dan Chatibul Umam (penyunting), Beberapa Aspek Ilmiah tentang
Al-Qur’an, cet. Ke-1 (Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an, 1986), h.
37.
[11] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan
Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2010), h.
39.
[12] Al
Farmawi, op.cit., h. 114-115.
[13] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1989), h . 580 – 581.
[16] Bard Al-Din Muhammad Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhan
fi ‘Ulum Al-Qur’an, Jilid II, (Dar al-Fikr, Beirut, 1988), h. 200.
[18] Ibn
Taimiyah, Muqaddimah fi Ushul
al-Tafsir, cet. Ke-1 (Kuwait: Dar al Qur’an al Karim, 1971 M./1391 H.), h.
105.
[19] Dapat
dilihat juga di Mulyanto Sumardi, Pengajaran Bahasa Asing (sebuah Tinjauan
Metodologi), cet. Ke-1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h.11-12.
[23] Ali Al-Awsi, Al-Thabathaba’i wa Manhajuh fi Tafsirih
Al-Mizan, (Taheran: Al-Jumhuriyyah Al-Islamiyyah fi Iran, 1975) h. 103.
[24] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (dari
Hermeneutika hingga Ideologi), cet. Ke-1 (Jakarta: Teraju, 2003), h. 198.
[25] Nasharuddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima
Yasa, 2000), h.. 57 – 58.
[31] Quraish Shihab. dkk., Sejarah dan Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 186–192.
[33] Ayat al
Qur’an diambil dari Ahmad
Hatta, DR.,MA. Tafsir Qur’an Per Kata Dilengkapi Azbabun Nuzul dan Terjemah,
(Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2009) h. 116, h. 235, h.517 dan h.18., dan untuk
memudahkan penulisan di insert juga dari; Mohamad Taufiq, Qur’an in Word, ver.
1.0.0., dapat juga diakses melalui; moh.taufiq@gmail.com.
[34] HR.
Ibnu Abi Hatim, Lihat Qurthubi: 9/6390 dan ad-Dumul Mantsur: 7/97.
[35] HR.
Ibnu Abi Hatim, lihat Ibnu Katsir: 1/220 dan Qurthubi: 1/570.
[36] Al
Thabari, Tafsir Al Thabari, Jilid 10, h. 389. Diambil dari al Maktabah
Syamilah, al-Ishdar al-Tsani.
[37]
Al-Nawawi, syarh al-Nawawi ‘ala muslim, jilid 6, h. 27
[38] Sifat
universal manusia seperti; syahwat, materi, gelisah, korup dll, sebab-akibat
seperti; lupa kepada Allah SWT, jarang atau bahkan tidak berdzikir, hawa nafsu
dikedepankan, mati menyesal dan pada akhirnya masuk neraka. Karakter jiwa
seperti; jiwanyang menyuruh berbuat jahat,mengecam dan ketenangan jiwa. Dapat
dilihat di Ibnu Qayim al Jawziah, ar-Ruh, cet. Ke-2 (Beirut: Dar al
Kitab al Arab. 1406/1986)
[39]
Miskawyh, Tahdzib al-Akhlaq, (Mauqi al-Waraq, tt.), h. 1-3, juz I, dapat
dilihat juga Abu Bakar ar-Razi dalam at-Thibb ar-Ruhani.
[40]
Abdurrahman Ibnu Abi Bakr, Jalaludin as-Suyuti, Darul Mantsuri fi Ta’wili
bil Ma’tsur, (http://www.atafsir.com:maktabah
syamilah), h. 160-161 Juz 10.
[41]
Muhammad Ibnu Jarir, Jami’ul Bayan fi Ta’wililil Qur’an. (www.qurancomplex.com:
maktabah syamilah) h. 309 juz 22.
[42] Ibid.
h. 389 juz 10.
[43] Sahih
Muslim, Fadhail al-Sahaba, 62:2425, Daarul Mughni, h. 1320
[44] Inggrid
Mattson, The Story of the Qur’an : its History and Pleace in Muslim Life,
(Oxford : Blackwell Publishing, 2008), h. 137.
[45] Tim
Penyusun, Op Cit., Islam Rahmatan Lil“alamin, h. 101.
[46] Ibid,
h. 106.
[47] Ibnu
Abidin (Madzhab Hanafi), Hasyiyah Rad al-Mukhtar, jilid 1.
[48]
Mujahid, Tafsir, 1, 163.
[49] Mukhtasar
Sya’ab al Iman, Jilid 1, h.102
[50] Bernard
H.M. Nieke, Nusantara Sejarah Indonesia, cet. Ke-1 (Jakarta: KPG
(Keputusan Populer Gramedia) 2008), h. 38-64.
[51] QS. Al
Maidah/5: 48, Lihat ayat-ayat al Qur’an tentang Pluralitas yang ke-4 pada
makalah ini, h. 19.
[52] Al
Thabari, Tafsir al Thabari, jilid 10, h. 385
[53] M.A
Mugfedar Khan, “Prophet Muhammad’s Promise to Christians” di http://newsweek.washingtonpost.com/ ., isi
Charter of Right tersebut adalah: “ini adalah pesan dari Muhammad putra
Abdullah, sebagai perjanjian kepada mereka yang menganut agama kristen, yang di
sini dan di tempat lain, bahwa kami bersama mereka. Sesunggunya kami adalah
hamba, penolong dan pengikutku akan menjaga mereka, karena umat Kristen adalah
wargaku, dan demi Allah SWT saya menentang setiap yang tidak disukai oleh
mereka. Tidak ada paksaan bagi mereka. ….. tidak ada satupun dari umat Islam
yang boleh menentang perjanjian ini sampai hari akhir.”.
[54] Ibnu
Jarir al-Thabari, Jami al Bayan fi Ta’wil al Qur’an, juz xx, (Saudi
Arabia: Majna al Malik Fahd al Syarif, 1420/2000).
[55] Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah
lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar